Kontributor : Suratman, AMK., SKM
kegiatan : Sekretaris MWC NU Kecamatan Lubuklinggau Utara II, Ketua Majelis Dzikir Thoriqoh Qodiriyah Wanaqsabandiyah Kecamatan Lubuklinggau Utara II Kota Lubuklinggau, Wakil Sekretaris Majelis Istighotsah Syahadat Kota Lubuklinggau dan kabupaten Musi Rawas ..Robbighfirli...waliwalidayya..amiin
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah - Bogor Baru.
Pengajian ini terbuka untuk umum dan diadakan setiap hari Jum'at malam
dimulai jam 20.00 s/d 23.00 WIB dan setiap Sabtu dimulai jam 16.00 s/d
18.00 WIB di Rubat kediaman Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin bin Aminudin, didepan Mesjid Nuur al Barru. Bogor Baru Blok B.IX/3 - Bogor, Jawa Barat - Indonesia.
Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin lahir pada malam Nuzulul Qur’an di bulan Ramadhan, (29 Mei 1953). Ayahnya, H Aminudin, berdarah Banten, tepatnya di daerah Labuan dan Ibunya berdarah Limbangan, Garut. Sejak kecil beliau sering diajak berziarah kepada para ulama di Banten yang masih ada hubungan keluarga, yaitu Syaikh Tubagus Ali Akbar, Syaikh Uways al Kurni Mandala cucu dari Syaikh Sohib Kadupinang, Syaikh Tubagus Mursyid, Syaikh Tubagus Rasyad, Syaikh Tubagus Kadzim ketiga ulama agung ini putera dari Syaikh Asnawi Caringin, lalu Syaikh Sohib Paniis, Syaikh Tubagus Husain bin Abdullah adik dari Syaikh Muhammad bin Abdullah Cibuah Pandeglang, Syaikh Tubagus Mukri dan Syaikh Hasan Armin (Ki Armen). Oleh karenanya, ilmu kesufian telah akrab di hatinya sejak usia dini. Sejak di usia 11 tahun, beliau dibimbing secara langsung oleh Syaikh Nuurunnaum Suryadipraja pemimpin Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Pabuaran Bogor selama 40 tahun sampai beliau khirkoh dari tarekat ini. Lalu beliau juga khirkoh dari Syaikh Jalaludin pemimpin tarekat Naqsyabandiyah di Medan. Dan berturut-turut khirkoh dari beberapa tarekat lain yang mutabaroh, antara lain tarekat Sadziliyah, tarekat Tijaniyah, tarekat Khalwatiyah, tarekat Chistiyah, tarekat Sanusiyah.
Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin lahir pada malam Nuzulul Qur’an di bulan Ramadhan, (29 Mei 1953). Ayahnya, H Aminudin, berdarah Banten, tepatnya di daerah Labuan dan Ibunya berdarah Limbangan, Garut. Sejak kecil beliau sering diajak berziarah kepada para ulama di Banten yang masih ada hubungan keluarga, yaitu Syaikh Tubagus Ali Akbar, Syaikh Uways al Kurni Mandala cucu dari Syaikh Sohib Kadupinang, Syaikh Tubagus Mursyid, Syaikh Tubagus Rasyad, Syaikh Tubagus Kadzim ketiga ulama agung ini putera dari Syaikh Asnawi Caringin, lalu Syaikh Sohib Paniis, Syaikh Tubagus Husain bin Abdullah adik dari Syaikh Muhammad bin Abdullah Cibuah Pandeglang, Syaikh Tubagus Mukri dan Syaikh Hasan Armin (Ki Armen). Oleh karenanya, ilmu kesufian telah akrab di hatinya sejak usia dini. Sejak di usia 11 tahun, beliau dibimbing secara langsung oleh Syaikh Nuurunnaum Suryadipraja pemimpin Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Pabuaran Bogor selama 40 tahun sampai beliau khirkoh dari tarekat ini. Lalu beliau juga khirkoh dari Syaikh Jalaludin pemimpin tarekat Naqsyabandiyah di Medan. Dan berturut-turut khirkoh dari beberapa tarekat lain yang mutabaroh, antara lain tarekat Sadziliyah, tarekat Tijaniyah, tarekat Khalwatiyah, tarekat Chistiyah, tarekat Sanusiyah.
Reaksi: |
THORIQOH QODIRIYAH NAQSYABANDIYAH (1)
Syeikh Abdul Karim Tanaaro Al Bantani
Mama sanja - kadu kaweng K.H. Uni Saketi
Pelaksanaan Dzikir ....
Keluargaku Surgaku...
Pengajian Akbar bersama Wakil Walikota Lubuklinggau dan Ketua Majelis Cabang NU Kota Lubuklinggau Ustadz Drs. Azhari Maid
PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD, SAW..
MARHABANAN...
ISTIGHOTSAH SYAHADAT...DI PONPES ROHMATULLOH...JAJARAN BARU MUSI RAWAS
SETELAH DZIKIR & PERSIAPAN GOTONG ROYONG MEMBANGUN RUBBAT MAKAN DULU BIAR KUAT PAK KIYAI..
ISTIGHOTSAH SYAHADAT DI PONPES ROHMATULLOH MEGANG SAKTI MUSI RAWAS
PENGAJIAN DENGAN MAHASISWA...
DZIKIR & DOA BERSAMA MELEPAS BERANGKAT UMROH MBAH KYAI AMIR SAMSIRI 19 JULI 2012
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Sufi Syekh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syekh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M). Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah.
Syekh
Ahmad Khatib adalah mursyid Thariqah Qadiriyah, di samping juga mursyid
dalam Thariqah Naqsabandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah
tarekatnya dari sanad Thariqah Qadiriyah saja. Sampai sekarang belum
diketemukan secara pasti dari sanad mana beliau menerima bai'at Thariqah
Naqsabandiyah.
Sebagai
seorang mursyid yang kamil mukammil Syekh Ahmad Khatib sebenarnya
memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang
dipimpinnya. Karena dalam tradisi Thariqah Qadiriyah memang ada
kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena
pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di
kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat
bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua
tarekat tersebut, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah
dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari
Indonesia.
Penggabungan
inti ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan
strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling
melengakapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya
memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya
syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud. Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat.
Dengan
penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan
mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih
mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin,
dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan penggabungan dari dua
tarekat tersebut. Tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi
berdasarkan ajaran lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah).
Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat
Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain
(selain kawasan Asia Tenggara).
Penamaan
tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syekh Ahmad
Khathib al-Sambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Beliau tidak
menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat
modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, sebenarnya
layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya.
Sebagai
suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki
ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian.
Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini
bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien.
Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an,
Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.
Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu : tentang kesempurnaan suluk, adab (etika), dzikir, dan murakabah.[]
MENGENAL THORIQOH MU'TABARAH
Dalam tasawwuf seringkali dikenal istilah Thoriqoh, yang berarti jalan, yakni jalan untuk mencapai Ridlo Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan, Aturuk biadadi anfasil mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya
mahluk, aneka ragam dan bermacam macam.
Dalam tasawwuf seringkali dikenal istilah Thoriqoh, yang berarti jalan, yakni jalan untuk mencapai Ridlo Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan, Aturuk biadadi anfasil mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya
mahluk, aneka ragam dan bermacam macam.
Kendati demikian orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati, karena dinyatakan pula, Faminha Mardudah waminha maqbulah, yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada
yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima.
yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima.
Yang dalam istilah ahli Thoriqoh lazim dikenal dengan ungkapan, Mu'tabaroh. Wa ghoiru Mu'tabaroh.
KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi, semua Thoriqoh yang Mu'tabaroh itu, sanad(silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi.
KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi, semua Thoriqoh yang Mu'tabaroh itu, sanad(silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi.
Kalau suatu Thoriqoh sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut Thoriqoh tidak (ghoiru) Mu'tabaroh. Barometer lain untuk menentukan ke-mu'tabaroh-an suatu Thoriqoh adalah pelaksanaan syari'at. Dalam semua Thoriqoh Mu'tabaroh syariat dilaksanakan secara benar dan ketat.
Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah :
Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah :
Thoriqoh Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M).
Thoriqoh Syathariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh 'Abd al-Rauf al-Sinkili ke Nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.
Thoriqoh Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din, berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa' al-Qulub. Thoriqoh ini berkembang di Minangkabau dan sekitarnya. Untuk mendukung ke1embagaan Thoriqoh, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jama'ah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi-tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan Thoriqoh Syathariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan ziarah bersama ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.
Thoriqoh Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Thoriqoh Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Limapuluh kota. Thoriqoh Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India.
Naqsyabandiyah merupakan salah satu Thoriqoh sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu
seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan Thoriqoh tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah,
dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Thoriqoh Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati (Sirri).
Penyebaran Thoriqoh Naqsyabandiyah Khalidiyah ditunjang oleh ulama ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah, mereka mendapat bai'ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), dan Syekh Muhammad Sai'd Bonjol.
Mereka adalah ulama besar dan berpengaruh pada zamannya serta mempunyai anak murid mencapai ratusan ribu, yang kemudian turut menyebarkan Thoriqoh ini ke daerah asal masing masing Di Jawa Tengah Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyyah disebarkan oleh KH. Abdul Hadi Girikusumo Mranggen yang kemudian menyebar ke Popongan Klaten, KH. Arwani Amin Kudus, KH. Abdullah Salam Kajen Margoyoso Pati, KH. Hafidh Rembang. Dari dari tangan mereka yang penuh berkah, pengikut Thoriqoh ini berkembang menjadi ratusan ribu. Ajaran dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu:
syari'at, thariqat, hakikat dan ma'rifat. Ajaran Thoriqoh
Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak ke permukaan dan memiliki tata aturan adalah khalwat atau suluk.
syari'at, thariqat, hakikat dan ma'rifat. Ajaran Thoriqoh
Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak ke permukaan dan memiliki tata aturan adalah khalwat atau suluk.
Khalwat ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir dibawah bimbingan seorang Syekh atau khalifahnya, selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara khalwat ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya epenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah..
Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad ibn 'Aly (al-Husainy al-Badawy).
Diantara nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada beliau ialah Syihabuddin, al-Aqthab, Abu al-Fityah, Syaikh al-'Arab dan al-Quthab an-Nabawy. Malah, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama gelar (laqab) yang banyak, sampai dua puluh sembilan nama. Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir, Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang lelaki keturunan Rasulullah SallAllahu 'alaihi wa sallam, melalui Sayidina al-Husain. Sholawat Badawiyah sughro dan Kubro, adalah sholawat yang amat dikenal masarakat Indonesia, dinisbatkan kepada waliyullah Sayid Ahmad Badawi ini, akan tetapi Tarekat badawiyah sendiri tidak berkembang secara luas di indonesia khususnya di Jawa Abul Hasan Ali asy-Sadzili, merupakan tokoh Thoriqoh Sadziliyah yang tidak meninggalkan karya tulis di bidang tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ketika ditanya akan hal itu, ia menegaskan :"karyaku adalah murid muridku", Asadzili mempunyai murid yang amat banyak dan kebanyakan mereka adalah ulama ulama masyhur pada zamannya, dan bahkan
dikenal dan dibaca karya tulisnya hingga hari ini. Ibn Atha'illah as -Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaranajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah Thoriqoh Sadziliyah tetap terpelihara.
Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan Thoriqoh Sadziliah, pokok-pokoknya, prinsipprinsipnya, yang menjadi rujukan bagi angkatan-angkatan setelahnya. Sebagai ajaran, Thoriqoh ini dipengaruhi oleh al- Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Sadzili kepada murid-muridnya: "Jika kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali".
Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al- Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, al-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqifwa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah. Thoriqoh Sadzaliah berkembang pesat di Jawa, tercatat Ponpes Mangkuyudan Solo, Kyai Umar , Simbah Kyai Dalhar Watucongol, Simbah Kyai Abdul malik Kedongparo Purwokerto, KH Muhaiminan Parakan, KH. Abdul Jalil Tulung Agung. KH . Habib Lutfi Bin Yahya, Pekalongan .Simbah KH.M.Idris, kacangan Boyolali, adalah pemuka pemuka Sadzaliah yang telah membaiat dan membina ratusan ribu bahkan jutaan murid Sadziliah.
Thoriqoh Qodiriyah dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M.
Riwayat hidup dan keutamaan akhlak (Manaqib) Syech Abdul Qodir Jaelani ini, dikenal luas oleh masarakat Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan dibaca dalam acara-acara tertentu guna tabarruk dan tawassul kepada Syekh Abdul Qodir. Thoriqoh Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, Thoriqoh ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Syekh Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, Thoriqoh Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Thoriqoh Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti Thoriqoh gurunya.
Bahkan dia berhak melakukan modifikasi Thoriqoh yang lain ke dalam Thoriqohnya. Hal itu seperti tampak
pada ungkapan Syekh Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya." Seperti halnya Thoriqoh di Timur Tengah.
pada ungkapan Syekh Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya." Seperti halnya Thoriqoh di Timur Tengah.
Sejarah Thoriqoh Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al- Mukarromah. Thoriqoh Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syekh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syekh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran Thoriqoh Qodiriyah. Murid-murid Syekh Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura, setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Thoriqoh Qodiriyah tersebut.
Di Jawa Tengah Thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah muncul dan berkembang antara lain dari Mbah Ibrahim Brumbung Mranggen diturunkan kepada antara lain KH. Muslih pendiri Ponpes Futuhiyyah ,Mranggen. Dari Kyai Muslih ini lahir murid-murid Thoriqoh yang banyak. Dan dari tangan mereka berkembang menjadi ratusan ribu pengikut. Demikian pula halnya Simbah Kyai Siradj Solo yang mengembangkan Thoriqoh ini ke berbagai tempat melalui anak muridnya yang tersebar ke pelosok Jawa Tengah hingga mencapai puluhan ribu pengikut. Sementara di Jawa Timur, Thoriqoh ini dikembangkan oleh KH. Musta'in Romli Rejoso Jombang dan Simbah Kyai Utsman yang kemudian dilanjutnya putra-putranya diantaranya KH. Asrori yang juga mempunyai murid ratusan ribu.
Di Jawa Barat tepatnya di Ponpes Suryalaya Tasikmalaya juga turut andil membesarkan Thoriqoh ini sejak mulai zaman Abah Sepuh hingga Abah Anom dan muridmuridnya yang tersebar di berbagai penjuru Jawa Barat.
Thoriqoh Alawiyyah berbeda dengan Thoriqoh sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) yang berat, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat
dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad.serta beberapa ratib lainnya seperti Ratib Al Attas dan Alaydrus juga dapat dikatakan, bahwa Thoriqoh ini merupakan jalan tengah antara Thoriqoh Syadziliyah (yang menekankan olah hati) dan batiniah) dan Thoriqoh Al- Ghazaliyah (yang menekankan olah fisik).
Thoriqoh ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Thoriqoh ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-
Muhajir-lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al- Muhajir-seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat. Al Imam Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali Baalwi, juga merupakan tokoh kunci Thoriqoh ini. Dalam perkembangannya kemudian, Thoriqoh Alawiyyah dikenal juga dengan Thoriqoh Haddadiyah,
yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah al-Haddad, Attasiyah yang dinisbatkan kepada Habib Umar bin Abdulrahman Al Attas, serta Idrusiyah yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah bin Abi Bakar Alaydrus, selaku generasi penerusnya.
Muhajir-lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al- Muhajir-seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat. Al Imam Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali Baalwi, juga merupakan tokoh kunci Thoriqoh ini. Dalam perkembangannya kemudian, Thoriqoh Alawiyyah dikenal juga dengan Thoriqoh Haddadiyah,
yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah al-Haddad, Attasiyah yang dinisbatkan kepada Habib Umar bin Abdulrahman Al Attas, serta Idrusiyah yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah bin Abi Bakar Alaydrus, selaku generasi penerusnya.
Sementara nama "Alawiyyah" berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al -Muhajir. Thoriqoh Alawiyyah, secara umum, adalah Thoriqoh yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid - keturunan Nabi Muhammad SAW-yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami.
Karena itu, pada masa-masa awal Thoriqoh ini didirikan, pengikut Thoriqoh Alawiyyah kebanyakan dari
kaum sayyid di Hadhramaut, atau Ba Alawi.Thoriqoh ini dikenal pula sebagai Toriqotul abak wal ajdad, karena mata rantai silisilahnya turun temurun dari kakek,ayah, ke anak anak mereka, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.
Di Purworejo dan sekitarnya Thoriqoh ini berkembang pesat, diikuti bukan hanya oleh para saadah melainkan juga masarakat non saadah , Sayid Dahlan Baabud, tercatat sebagai pengembang Thoriqoh ini, yang sekarang dilanjutkan oleh anak cucunya Umumnya, nama sebuah Thoriqoh diambil dari nama sang pendiri Thoriqoh bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband.
Tapi Thoriqoh Khalwatiyah justru diambil dari kata "khalwat", yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Thoriqoh Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempattempat sepi. Secara "nasabiyah", Thoriqoh Khalwatiyah merupakan cabang dari Thoriqoh Az-Zahidiyah, cabang dari Al- Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Thoriqoh Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir.
Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia mengambil Thoriqoh tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan Thoriqoh ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik.
Diantara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).
Thoriqoh Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.
Thoriqoh Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.
At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di 'Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun.
Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh Thoriqoh-Thoriqoh lain. Gugatan keras dari kalangan ulama Thoriqoh itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Thoriqoh Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan diperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Thoriqoh Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru Thoriqoh lain, Meski demikian, Thoriqoh ini terus berkembang, utamanya di Buntet- Cirebon dan seputar Garut (Jawa Barat), dan Jati barang brebes, Sjekh Ali Basalamah, dan kemudian dilanjutkan putranya, Sjekh Muhammad Basalamah, adalah muqaddam Tijaniah di Jatibarang yang pengajian rutinnya, dihadiri oleh puluhan ribu ummat Islam pengikut Tijaniah. Demikian pula Madura dan ujung Timur pulau Jawa, tercatat juga, sebagai pusat peredarannya. Penentangan terhadap Thoriqoh ini, mereda setelah, Jam'iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan keputusan, Thoriqoh ini bukanlah Thoriqoh sesat, karena amalan-amalannya sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Keputusan itu diambil setelah para ulama ahli Thoriqoh memeriksa wirid dan wadzifah Thoriqoh ini.
Thoriqah Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Samman yang bernama asli Muhammad bin Abd al-Karim al-Samman al- Madani al-Qadiri al-Quraisyi dan lebih dikenal dengan panggilan Samman. Beliau lahir di Madinah 1132 H/1718 M dan berasal dari keluarga suku Quraisy. Semula ia belajar Thoriqoh Khalwatiyyah di Damaskus, lama kelamaan ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik dzikir, wirid dan ajaran teosofi lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan Allah yang akhirnya disebut sebagai Thoriqoh Sammaniyah. Sehingga ada yang mengatakan bahwa Thoriqoh Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah.
Di Indonesia, Thoriqoh ini berkembang di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Sammaniyah masuk ke Indonesia pada penghujung abad 18 yang banyak mendapatkan pengikut karena popularitas Imam Samman. Sehingga manaqib Syekh Samman juga sering dibaca berikut dzikir Ratib Samman yang dibaca dengan gerakan tertentu. Di Palembang misalnya ada tiga ulama Thoriqoh yang pernah berguru langsung pada Syekh Samman, ia adalah Syekh Abd Shamad, Syekh Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin dan Syekh Kemas Muhammad bin Ahmad. Di Aceh juga terkenal apa yang disebut Ratib Samman yang selalu dibaca sebagai dzikir
(team Al Mihrab )
Ass.wr.wb
BalasHapusBeberapa th yang lalu sy pernah datang ke TQN SURALAYA TASIK, dengan bapak dan adik saya.
dan saya pernah di talkin oleh abah Anom untuk belajar dzikir hopi.
Waktu sy masih dibandung masih ada grup manakibannya, setelah pndah ke jakarta, saya jarang wirid/amalan TQN.
Karena sudah terlalu lama sehingga ada beberapa amalan yang lupa sementara buku panduannya ngga ada.
Barangkali, Bapak/Ibu ridho memberikan tuntunan TQN untuk amalan harian, mingguan dan bulanan dalam bentuk e-book atau diktat saya sangat berterimakasih sekali.
Kalau ada biaya yang diperlukan untuk Foto Copy ataupun biaya pengiriman, Tolong Bapak/Ibu menuliskan dalam paket tersebut, Insyaallah semua biaya yang dikeluarkan akan saya ganti.
Terimakasih atas bantuannya, semoga Allah membalas budi baik Bpaka/Ibu.
Kalau berkenan bisa menghubungi email saya di.
imambarrliana@yahoo.co.id
Ass,wr,wb
BalasHapuskpada ikhwan-akhwat TQN
saya minta tolong minta info untuk majlis dzikir TQN untuk daerah rangkas bitung,,,,KARNA SUDAH 2 THUN SYA G AKTIF
trm kasih...
wassalamualaikum...
walaikumsalam warohmatulahi wabarokatu sholawat dan salam untuk Baginda Rosul Nabi Muhammad Saw dan dalam rahmat Allah Swt .mainlah kelabuan mas Ali insaallah masih berjalan TQN disana
BalasHapusbapak cecep doksu
BalasHapusPersoalan penting yang kita perlu tanyakan, Apa perlu nya tqreqat Naqsyahbandiyah di gabungkan dengan tareqat Qadiriyah? Sedangkan fungsi tareqat adalah untuk kembali kepada Allah. Jika sebuah tareqat itu benar salasilahnya hingga kepada Rasulullah, dan punya mursyid maka apa perlu nya digabung kan? Jika tareqat Qadiriyah itu benar maka ia akan membawa murid2 nya kepada Allah. Dan jika Naqsyahbandiyah itu benar maka ia juga akan membawa murid2 nya kepada Allah.
BalasHapusMelain kan jika kedua2 tareqat itu sudah tidak murni lagi, sudah masuk unsur2 yang salah yang bukan dari ajaran tareqat yang asal, maka sebab itu kedua2 nya boleh di gabung kan dan di perbuat apa saja mengikut kehendak manusia. Kerana jika kedua2 nya benar, maka ikut lah yang mana pun akan tetap sampai kepada Tuhan yang sama juga. Hanya itu lah Tuhan yang Esa, ikut lah jalan mana pun asalkan tareqat itu benar, akan sampai ke tujuan yang sama. Tidak perlu di gabung2 macam mengadun tepung mau bikin kueh
Kerana jika di gabung2 kan maka salasilah nya pasti sudah berlainan. Pasti nya mursyid yang terdahulu akan tersinggung seolah2 apa yang mereka ajarkan dahulu nya tidak betul, atau pun masih belum cukup baik?
BalasHapusMENGIKUTI satu thoriqoh berarti mengikuti salah satu cara dzikir kepada Allah, mengikuti lebih dari satu thoriqoh berarti juga memiliki lebih dari satu cara untuk berdzikir kepada Allah. dan itu sah-sah saja asal semuanya dilakukan dengan prosedurnya masing-masing. tinggalkan keraguan dan terus memperkaya ilmu kita.. agar tidak benyak bingung dan kaget. Allahu A'lam.
BalasHapusBiasanya di Banten ada yang khirqah 4 (empat ) thariqah sekaligue dan boleg yang manasaja yg diamalka karena semuanya aama berpegang kepada tazkiyatunnafs yang berbeda adalah cara atau kaifiat berzikirnya saja dan mana yg lebih mudah atau disukai tatacara berzikir agar kita lebih cepat merasakan perybahan2 jiwa dan ahlak kita agar terus menjadi lebih baik sudah barang tentu harus dibimbing oleh seorang Mursyid yang mengerti dijalan ini semoga semua umat islam lebih istiqomah dalam menjalankan syari'at islam tentunya dengan mensucikan diri terus menerus dan terakhir tanda keberhasilannya adalah ahlakul karimah .semoga berhasil
BalasHapus