Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Hadis Shahih Ini Bukan Dalil Salat Tarawih Hadis Imam Bukhari dan lain-lain yang diriwayatkan oleh Aisyah di bawah ini kerap dijadikan dalil oleh sebagian kalangan yang menganut tarawih delapan rakaat, Rasul tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan atau selainnya. Beliau salat empat rakaat. Tak perlu ditanyakan lagi, betapa bagus dan panjang salatnya itu. Setelah salam, ia kembali salat empat rakaat. Setelah itu, ia mengakhiri dengan salat tiga rakaat. Aisyah bertanya, “Rasul, apakah Engkau tidur sebelum melaksanakan salat witir?” Jawab Rasul, “Aisyah, matakau boleh tidur. Tapi tidak dengan hatiku.”
Benarkan hadis itu merupakan dalil salat tarawih delapan rakaat? Pada hadis tersebut, Aisyah dengan gamblang menyatakan, Nabi tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan maupun selainnya, alias sepanjang tahun. Salat yang dilakukan setiap malam sepanjang tahun, tentunya bukan salat tarawih. Sebab salat tarawih hanya dilaksanakan pada malam bulan Ramadan.
Oleh karen itu, para ulama berpendapat, hadis Aisyah di atas berbicara tentang salat witir, bukan salat tarawih. Para ulama
umumnya juga menempatkan hadis itu pada bab salat witir atau salat malam, bukan pada bab salat tarawih, seperti
Al- Qadhi ‘Iyadh dan Imam Nawawi. Imam Ibnu Hajar juga menempatkan hadis di atas dalam konteks salat witir.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dauwd dari Aisyah di bawah ini bisa menjadi peneguh pendapat di atas, Rasulullah salat malam tiga belas rakaat, terdiri dari salat witir dan dua rakaat fajar.
Sumber : Bahan Bacaan Zen Tahua Adam
Lihat juga di 40 Masalah Agama Karya : K.H. Siradjuddin Abbas.
Lihat juga :
Muhammad Abduh Tuasikal
Hukum Islam
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah
jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam
shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Menurut sebagian ulama ini bukan dalil untuk pelaksanaan sholat tarawih melainkan untuk sholat malam pada umumnya, ini melihat pada kalimat " didalam bulan Romadhon atau dibulan lain selain Romadhon".
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau
berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil
berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga
datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan
engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21)
Sebagian ulama menyebutkan ini bukan dalil untuk sholat tarawih tetapi sholat malam pada umumnya....
As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga
hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan
Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan
jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan
bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah
beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah
raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar
orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.”
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim no. 489)
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah
melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu
kesalahanmu.” (HR. Muslim no. 488)
Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam ilmu ushul.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap
raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama.
Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua
puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun
dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia
melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir
sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih
ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam
ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan
bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Telah terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar
bin Al Khottob pernah mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat
tarawih, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari ditunjuk sebagai imam. Ketika
itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 21 raka’at. Mereka membaca
dalam shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya berakhir ketika
mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no. 7730, Ibnul
Ja’di no. 2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/416)
Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat tarawih
adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas
ulama diantaranya Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi,
juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat
ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.
Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun
yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan
para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali
As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan
manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai
negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah
yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi
ijma’ atau kesepakatan sahabat.
Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah
banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Shalat tarawih adalah 39
raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau
memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)
Shalat tarawih adalah 40
raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh
‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau
witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam
di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh
‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah Namun
apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang
panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang
lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama.
Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah
raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun
seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu
juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para
ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan
ulama lainnya.
Dari
penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif
dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini.
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.
Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya
Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat
11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
namun berdirinya agak lama. Dan juga melakukan shalat tarawih
dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak
dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.”
Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di
atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah
ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah)
Oleh
karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan
kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas.
Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai
dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat
tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan
kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
***
Dalil Tarawih 20 Rakaat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.
Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.
1. Hadis mauquf.
وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ
قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى
الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي
الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ
الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى
قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى
أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ
يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ
هَذِهِ…
“Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari `Urwah bin al-Zubair, dari Abd.
Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan
Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami
mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang
terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang
lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.
Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan lebih baik jika
aku kumpulkan
mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka
pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin
Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku menyaksikan) masyarakat
melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: “Ini
adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).
Di dalam hadis yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih
yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua
puluh.
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا
يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.
“Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia berkata
: “Mereka (para shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin
al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.”
Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan
al-Kubro, I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh
Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam
al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam
dan lain-lain.(10)
Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang
mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadis ini
dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu
al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya
bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula
masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal
al-ra`yi).(11)
2. Ijma` para shahabat Nabi.
Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua
puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau
menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan
bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin
Ka`ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin
al-Khatthab adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat.
Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang
terkenal pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang
yang laa yakhofuna fi Allah laumata laa`im. Bagaimana mungkin para
shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin
Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan seabrek shahabat
senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah berani dengan seorang
wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin
al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an ketika beliau
hendak membatasi besarnya mahar?(12)
Konsensus (ijma`) para shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi`in
dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah, semenjak masa
Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga saat ini, shalat
Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat.
KH. Ahmad Dahlan,
pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih sebanyak
dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota
Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA.
Para ulama salaf tidak ada
yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan
melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.(13)
Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:
“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami
shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka
banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin
Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan
tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”(14)
Benarkan hadis itu merupakan dalil salat tarawih delapan rakaat? Pada hadis tersebut, Aisyah dengan gamblang menyatakan, Nabi tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan maupun selainnya, alias sepanjang tahun. Salat yang dilakukan setiap malam sepanjang tahun, tentunya bukan salat tarawih. Sebab salat tarawih hanya dilaksanakan pada malam bulan Ramadan.
Oleh karen itu, para ulama berpendapat, hadis Aisyah di atas berbicara tentang salat witir, bukan salat tarawih. Para ulama
umumnya juga menempatkan hadis itu pada bab salat witir atau salat malam, bukan pada bab salat tarawih, seperti
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dauwd dari Aisyah di bawah ini bisa menjadi peneguh pendapat di atas, Rasulullah salat malam tiga belas rakaat, terdiri dari salat witir dan dua rakaat fajar.
Sumber : Bahan Bacaan Zen Tahua Adam
Lihat juga di 40 Masalah Agama Karya : K.H. Siradjuddin Abbas.
Lihat juga : Muhammad Abduh Tuasikal Hukum Islam
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah
jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam
shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)Menurut sebagian ulama ini bukan dalil untuk pelaksanaan sholat tarawih melainkan untuk sholat malam pada umumnya, ini melihat pada kalimat " didalam bulan Romadhon atau dibulan lain selain Romadhon".
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21)
Sebagian ulama menyebutkan ini bukan dalil untuk sholat tarawih tetapi sholat malam pada umumnya....
As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.”
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim no. 489) Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah
melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu
kesalahanmu.” (HR. Muslim no. 488)Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam ilmu ushul.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Telah terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat tarawih, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari ditunjuk sebagai imam. Ketika itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 21 raka’at. Mereka membaca dalam shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya berakhir ketika mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no. 7730, Ibnul Ja’di no. 2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/416)
Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama diantaranya Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat.
Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)
Shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini.
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.
Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya
Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim).Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah)
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
***
Dalil Tarawih 20 Rakaat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.
Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.
1. Hadis mauquf.
وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ…
“Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari `Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.
Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan lebih baik jika
aku kumpulkan mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: “Ini adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).
Di dalam hadis yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua puluh.
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.
“Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia berkata : “Mereka (para shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.”
Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.(10)
Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal al-ra`yi).(11)
2. Ijma` para shahabat Nabi.
Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka`ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna fi Allah laumata laa`im. Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah berani dengan seorang wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an ketika beliau hendak membatasi besarnya mahar?(12)
Konsensus (ijma`) para shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi`in dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah, semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat.
KH. Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA.
Para ulama salaf tidak ada yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.(13)
Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:
“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”(14)
subhanalloh...mahasuci engkau ya Alloh,....terbebas dari salah dan khilaf...
BalasHapus