Senin, 30 Juli 2012

الله أكبر: Yaa Habiballah

الله أكبر: Yaa Habiballah: Teks Qosidah NM Yaa Habiballah 2x salamun 'alaik Yaa Nabiallah   2x salamun 'alaik salam pada mu2 tak akan henti salam pada mu2 nabi ya...

M A J L I S . M A J L A S: Ya Habiballah

M A J L I S . M A J L A S: Ya Habiballah

BUKTI KEUTAMAAN NABI KITA MUHAMMAD, SAW DAN AHLU BAIT

BUKTI KEUTAMAAN NABI KITA SAW DAN AHLU BAIT
lewat penelusuran ilmyah perahu Nabi NUH

kontributor : Suratman, SKM 
 


Rasulullah saw brsabda : "Perumpamaan Ahlul Bait ku seperti Bahtera Nuh, barang siapa 

yang menaikinya dia akan Selamat, dan barangsiapa yg tertinggal dia akan Tenggelam. 
(Hadis Muatawattir)

Pada bulan Juli 1951 sebuah tim yang terdiri  dari ahli-ahli Rusia melakukan penelitian terhadap
Lembah Kaat. Sepertinya mereka tertarik untuk menemukan sebuah tambang baru di daerah 

tersebut. Dalam penelitiannya mereka menemukan beberapa potong kayu di daerah
 tersebut berserakan. Mereka kemudian mulai menggali tempat tersebut dengan tujuan 
untuk menemukan sesuatu yang berharga. Tetapi alangkah terkejutnya mereka ketika 
menemukan kumpulan potongan-potongan kayu tertimbun di situ.

Salah seorang ahli yang ikut serta memperkirakan, setelah meneliti beberapa lapisanya, 

bahwa kayu-kayu tersebut bukanlah kayu yang biasa, dan menyimpan rahasia yang 
sangat besar di dalamnya.

Mereka mengekskavasi tempat tersebut dengan penuh keingintahuan. Mereka menemukan 

cukup banyak potongan-potongan kayu di daerah penggalian tersebut, dan di samping itu
mereka juga menemukan hal-hal lain yang sangat menarik. Mereka juga menemukan
sepotong kayu panjang yang berbentuk persegi. 
Mereka sangatlah terkejut setelah mendapati bahwa potongan kayu yang
berukuran 14 X 10 inchi tersebut  ternyata kondisinya jauh lebih baik dibandingkan 
potongan-potongan kayu yang lain. 


Setelah waktu penelitian yang memakan waktu yang cukup lama, hingga akhir tahun 1952, 

mereka mengambil kesimpulan bahwa potongan kayu tersebut merupakan potongan dari 
bahtera Nabi Nuh a.s. yang terdampar di puncak Gunung Calff (Judy). Dan potongan (pelat)
kayu tersebut, di mana terdapat beberapa ukiran dari huruf kuno, merupakan bagian dari 
bahtera tersebut. Setelah terbukti bahwa potongan kayu tersebut merupakan potongan kayu 
dari bahtera Nabi Nuh a.s., timbullah pertanyaan tentang kalimat apakah yang tertera 
di potongan kayu tersebut. Sebuah dewan yang terdiri dari kalangan pakar dibentuk oleh 
Pemerintah Rusia di bawah Departemen Riset mereka untuk mencaritahu makna dari 
tulisan tersebut. Dewan tersebut memulai kerjanya pada tanggal 27 Februari 1953. 

Berikut adalah nama-nama dari anggota dewan tersebut:
1. Prof. Solomon, Universitas Moskow
2. Prof. Ifa Han Kheeno, Lu Lu Han College , China
3. Mr. Mishaou Lu Farug, Pakar fosil
4. Mr. Taumol Goru, Pengajar Cafezud College
5. Prof. De Pakan, Institut Lenin
6. Mr. M. Ahmad Colad, Asosiasi Riset Zitcomen
7. Mayor Cottor, Stalin College


Kemudian ketujuh orang pakar ini setelah menghabiskan waktu selama delapan bulan 

akhirnya dapat mengambil kesimpulan bahwa bahan kayu tersebut sama dengan bahan kayu
 yang digunakan untuk membangun bahtera Nabi Nuh a.s., dan bahwa Nabi Nuh a.s. 
telah meletakkan pelat kayu tersebut di kapalnya demi keselamatan dari bahtera tersebut
dan untuk mendapatkan ridho Illahi. Terletak di tengah-tengah dari pelat tersebut adalah 
sebuah gambar yang berbentuk telapak tangan dimana juga terukir beberapa kata dari 
bahasa Saamaani. Mr. N.F. Max, Pakar Bahasa Kuno, dari Mancester, Inggris telah
menerjemahkan kalimat yang tertera di pelat tersebut menjadi:


"Ya Allah, penolongku! Jagalah tanganku dengan kebaikan dan bimbingan
dari dzatMu Yang Suci, yaitu Muhammad, Ali, Fatima, Shabbar dan Shabbir.
Karena mereka adalah yang teragung dan termulia.
Dunia ini diciptakan untuk mereka maka tolonglah aku demi nama mereka."
 

Semuanya sangatlah terkejut setelah mengetahui arti tulisan tersebut. Terutama yang 
membikin mereka sangatlah bingung adalah kenapa pelat kayu tersebut setelah lewat 
beberapa abad tetap dalam keadaan utuh dan tidak rusak sedikitpun. Pelat kayu 
tersebut saat ini masih disimpan dengan rapih di Pusat Penelitian Fosil Moskow di Rusia.

Jika anda sekalian mempunyai waktu untuk mengunjungi Moskow, maka mampirlah di 

tempat tersebut, karena pelat kayu tersebut akan menguatkan keyakinan anda terhadap 
kedudukan Ahlul Bayt a.s. Terjemahan kalimat tersebut telah dipublikasikan antara lain di:
 

1. Weekly - Mirror, Inggris 28Desember 1953
2. Star of Britain , London , Manchester 23 Januari 1954
3. Manchester Sunlight, 23Januari 1954
4. London Weekly Mirror, 1Februari 1954
5. Bathraf Najaf , Iraq 2 Februari 1954
6. Al-Huda, Kairo 31 Maret 1954
7. Ellia - Light, Knowledge & Truth, Lahore 10 Juli 1969

Nabi Nuh AS TAWASUL KEPADA RASULULLAH SAW dan Ahlul Bayt ..............


Nabi Nuh saja brtawassul kpd Nabi Muhammad, jauh sbelum Nabi Muhammad dilahirkan Kebumi,
Eh-eh  kog zaman skarang ada saja orang-orangan sawah yang menghina Tawasul kepada Nabi sebagai Syirik, Padahal jelas Nabi mengabarkan , bahwa Ruhnya Akan Alloh kembalikan pada Jasadnya untk menjawab salam dari Ummatnya ^_^
 

Minggu, 29 Juli 2012

Dalil tentang Sholat Tarawih yang Betul Yang Mana Apa Sebelas Roka'at atau 20 Roka'at Ya...???

Kontributor : Suratman, SKM


 

Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Hadis Shahih Ini Bukan Dalil  Salat Tarawih Hadis Imam Bukhari dan lain-lain yang diriwayatkan oleh Aisyah di bawah ini kerap dijadikan dalil oleh sebagian kalangan yang menganut tarawih delapan rakaat, Rasul tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan atau selainnya.  Beliau salat empat rakaat. Tak perlu ditanyakan lagi, betapa bagus  dan panjang salatnya itu.  Setelah salam, ia kembali salat empat rakaat. Setelah itu, ia mengakhiri dengan salat tiga rakaat. Aisyah bertanya, “Rasul, apakah Engkau tidur sebelum  melaksanakan salat witir?”  Jawab Rasul, “Aisyah, matakau boleh tidur. Tapi tidak dengan hatiku.”

Benarkan hadis itu merupakan dalil salat tarawih delapan rakaat? Pada hadis tersebut, Aisyah dengan gamblang  menyatakan, Nabi tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan maupun selainnya, alias sepanjang tahun. Salat yang dilakukan setiap malam sepanjang tahun, tentunya bukan salat tarawih. Sebab salat tarawih hanya dilaksanakan pada malam bulan Ramadan.

Oleh karen itu, para ulama berpendapat, hadis Aisyah di atas berbicara tentang salat witir, bukan salat tarawih. Para ulama
umumnya juga menempatkan hadis itu pada bab salat witir atau salat malam, bukan pada bab salat tarawih, seperti 
Al- Qadhi ‘Iyadh dan Imam Nawawi.  Imam Ibnu Hajar juga menempatkan hadis di atas dalam konteks salat witir. 

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dauwd dari Aisyah di bawah ini bisa menjadi peneguh  pendapat  di atas, Rasulullah salat malam tiga belas rakaat, terdiri dari salat witir dan dua rakaat fajar.
 
 
 
Sumber : Bahan Bacaan Zen Tahua Adam
Lihat juga di 40 Masalah Agama Karya : K.H. Siradjuddin Abbas.
Lihat juga : Muhammad Abduh Tuasikal Hukum Islam  
 Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
 Menurut sebagian ulama ini bukan dalil untuk pelaksanaan sholat tarawih melainkan untuk sholat malam pada umumnya, ini melihat pada kalimat " didalam bulan Romadhon atau dibulan lain selain Romadhon".

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21)
Sebagian ulama menyebutkan ini bukan dalil untuk sholat tarawih tetapi sholat malam pada umumnya....

As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak   melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.”

Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim no. 489)


Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.” (HR. Muslim no. 488)

Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam ilmu ushul.



Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)


Telah terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat tarawih, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari ditunjuk sebagai imam. Ketika itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 21 raka’at. Mereka membaca dalam shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya berakhir ketika mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no. 7730, Ibnul Ja’di no. 2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/416)

Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih

Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.


Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.


Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama diantaranya  Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”

Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”

Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”

‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”

Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat.

Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)


Shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)


Shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)

Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.

Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini.

 “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.

Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya

Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,

عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits  di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’  dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah)
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
***


 

Dalil Tarawih 20 Rakaat


Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.
Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.

1. Hadis mauquf.
وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ…

“Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari `Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.

Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan lebih baik jika
aku kumpulkan mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: “Ini adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).

Di dalam hadis yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua puluh.

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.

“Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia berkata : “Mereka (para shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.”

Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.(10)

Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal al-ra`yi).(11)

2. Ijma` para shahabat Nabi.
Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka`ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna fi Allah laumata laa`im. Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah berani dengan seorang wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an ketika beliau hendak membatasi besarnya mahar?(12)

Konsensus (ijma`) para shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi`in dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah, semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat.

KH. Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA.

Para ulama salaf tidak ada yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.(13)
Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:
“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”(14)

Dalil Pendukung Shalat Tarawih 23 Raka’at

Dalil Pendukung Shalat Tarawih 23 Raka’at

KENAPA MUHAMMADIYAH BISA BERBEDA DALAM PENETAPAN ? Memahami Metode Penetapan Awal Bulan Qomariyah




KENAPA MUHAMMADIYAH BISA BERBEDA DALAM PENETAPAN ?

A . Memahami Metode Penetapan Awal Bulan Qomariyah

Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi saw yang berpesan kepada umatnya dalam sabdanya: “bahwa Ulama’ umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan, bila kamu melihat perbedaan pendapat diantaramu, ikutilah pendapat mayoritas Ulama“ HR. Ibnu Majah dari Anas Ibnu Malik (Sunan Ibn Majah I/414-415)

Perbedaan penetapan awal bulan qomariyah terutama pada bulan Romadlan dan Syawal, merupakan suatu hal yang sering terjadi ditengah kaum muslim. Ini dikarenakan perhitungan bulan qomariyah yang didasarkan pada rotasi perputaran bulan terkadang 29 hari dan 30 hari dan juga dikarenakan perbedaan memilih metode/cara penetapannya . perlu kita ketahui bahwa penetapan Awal bulan secara Umum ada 3 cara :

1. Dengan Rukyah Hilal (melihat bulan)
2. Dengan Hisab (perhitungan)
3. Ketetapan Ulil Amri

1• Rukyah Hilal didasarkan atas Sada Rasululloh Saw :


صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن حالت دونه غيابة فأكملوا ثلاثين يوما (رواه الترمذي)

“puasalah kamu sekalian sesudah melihat bulan, dan berhari rayalah setelah melihat bulan pula. Kalau bulan itu tertutup awan, maka sempurnakanlah (bulan yang terdahulu) 30 hari” (HR. Tirmidzi)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”( HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080)

Dan dalam Al-Qur’an juga disebutkan:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Madzhab Hanafiah, Malikiah, Syafi’iyyah dan Hanabilah sepakat, bahwa itsbat (penetapan) awal Ramadhan adalah dengan melihat hilal.

2• Sedangkan Pendapat yang berpegang pada Hisab , menafsirkan "ru’yah" dengan ru'yah bil 'ilmi (melihat dengan ilmu). Pendapat kelompok ini didasarkan atas tiga hal. Pertama, ayat Alquran surat Yunus (10:5)

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[669]. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.” (Yunus, 10:5)

Dalam ayat tersebut menganjurkan kepada umat Islam mempelajari peredaran matahari dan bulan sebagai dasar penghitungan waktu dan tahun (li'ta'lamu 'adad al sinina wa al hisab). Ayat inilah yang menjadi pijakan lahirnya Ilmu Hisab (Falaq). Ilmu ini digunakan secara sangat luas untuk menentukan waktu salat dan kalender Hijriyah, awal akhir bulan, hari raya (Idul Fitri - Idul Adha), wukuf di Arafah dan ibadah lainnya.

Kedua, tradisi melihat hilal yang dilakukan oleh Rasulullah dan sahabat hanyalah merupakan "cara" yang dilakukan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, umat Islam bisa menggunakan "cara" lain yang diisyaratkan oleh Alquran. Di antaranya dengan cara ilmiah melalui penghitungan Falaq/ Hisab/Perhitungan. Ilmu ini baru berkembang pada masa Bani Abbasiyah (abad ke-8 M). Pada masa Rasulullah belum ditemukan alat teropong bintang dan belum berkembang ilmu falaq/ astronomi (Armahedi Mahzar dan Yuliani Liputo, 2002: 249).

Ketiga, kelompok hisab berpendapat awal dan akhir bulan tidak ditentukan oleh beberapa derajat ketinggian hilal(wujudul hilal). Jika berdasarkan penghitungan hisab hilal sudah nampak, berapa pun ketinggiannya, maka hitungan bulan baru sudah masuk.

3 • Sedangkan dalam masalah mengikuti keputusan pemimpin , ini sebagaimana dijelaskan dalam Firman Alloh swt :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ



“Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan ulil Amri di antara kalian..” (QS. An Nisa (4): 59)

dan firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.

Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, :

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi no. 697)

يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin” (Majmu’ Al Fatawa, 25/117)

Suatu masyarakat atau Negri pastinya memiliki Uli Amri atau pemimpin yang berperan dalam Penetapan awal bulan untuk mempersatukan Masyarakat dalam suatu Negri . oleh karena tu supaya tidak ada perselisihan dan agar sesuai dengan realisasi Hadi Riwayat Tirmidzi 697 diatas , yang menjelaskan Kemayoritasan , maka kita wajib mengikuti satu suara/keputusan yaitu Keputusan Pemimpin/pemerintah.

B. KENAPA MUHAMMADIYAH BISA BERBEDA DALAM PENETAPAN ?

Banyak masyarakat yang salah faham dengan mengatakan bahwa yang puasa lebih awal (dalam hal ini hari Juma’at) itu dikarenakan memakai Hisab , sedangkan yang Puasa hari Sabtu memakai Rukyah.

untuk lebih jelasnya bahwa , yang menetapkan Awal Ramadlan pada hari SABTU bukan berarti tidak memakai Ilmu Hisab.
Justru sebaliknya , pemerintah menetapkan awal bulan qomariyah sudah memakai Metode yang sangat lengkap yakni merupakan metode hasil perpaduan antara metode HISab (Perhitungan) dan Rukyah Hilal (melihat bulan), yang dipadu dengan Ilmu Astronomi.
Hisab menghitung berapa derajat “Wujudul hilal”, sedangkan Ilmu Astronomis (sudah melalui berbagai Riset /penelitian) menetapkan kapan Hilal memungkinkan untuk dilihat, yang dikenal dengan kaidah “IMKAN RUKYAH”.

dalam Ilmu Hisab Kaidah Wujudul Hilal itu jika hasil perhitungan diatas nol drajat , artinya 0,1 drajat pun sudah masuk kedalam Kaidah Wujudul hilal,
tapi Menurut Ilmu Astronomi (Epimiris) Hilal mustahil untuk bisa dilihat jika hasil perhitungan HISAB dibawah 2 Drajat (umur bulan 8 jam), baik dengan mata telanjang maupun dengan Tropong bintang,

nah Muhammadiyah dalam Hisabnya hanya berpegang pada Wujudul Hilal, berapapun hasil penghitungannya asalkan diatas Nol drajat, dan mereka tidak memakai kaidah IMKAN RUKYAH (keadaan Hilal yang memungkinkan bisa terlihat) .
Inilah yang menyebabkan adanya perbedaan dalam menetapkan awal bulan Ramadlan kemarin.

Namun yang perlu kita Ingat Bahwa penetapan Bulan Qomariyah bukan bedasarkan karena perhitungan yang menujukkan Wujudul Hilal tapi Rukyatul hilal, sebagaimana Sabda Rasulullah Saw :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu sekalian karena Rukyah/melihat bulan, dan Berbuka/berhari rayalah kamu karena melihat bulan pula”

Maka Berdasarkan Hadis ini , Kaidah Imkan Rukyah lebih cocok digunakan dalam Hisab karena pada saat itulah Hilal bisa di Rukyah/dilihat.

jelas sekali bahwa kaidah wujudul hilal sebagai penetapan masuk bulan ini telah termentahkan oleh Hadis Nabi
jadi jelas bagaimana kita harus menentukan sikap , Agar tidak Taqlid buta^_^



                                        Nara Sumber : Khoirun Nisa

Mutiara Nasihat Abu Muhammad Ruwaim bin Ahmad

kontributor : Suratman, SKM
 
Ruwaim bin Ahmad

Namanya Abu Muhammad Ruwaim bin Ahmad, wafat pada tahun 303H/915M. termasuk guru besar(syaikh) yang paling di hormati,berkebangsaan bagdad,seorang muqri' (ahli membaca qur'an) dan ahli fiqih madzhab Dawud.

Di antara mutiara nasihatnya:

1. di antara hakim yg bijaksana adalah memberi kelonggaran hukum pada orang lain, mempersulit hukum pada diri sendiri. memberikan kelonggaran hukum pada orang lain termasuk mengikuti ilmu,dan mempersulit hukum pada diri sendiri termasuk kebijakan seorang wara'

2. abu abdullah bin khafif pernah berkata kepada ruwaim,''berilah saya wasiat''!  Dia menjawab: ''masalah(tasawuf) tidak bisa dicapai kecuali dengan mencurahkan jiwa.memasuki tasawuf harus dengan pencurahan jiwa. jika tidak, janganlah menyelam dalam tasawufmu yang tiada guna.

3. bergaul dengan segala lapisan manusia membuatmu lebih aman daripada bergaul dengan orang-orang sufi saja. karna kebanyakan orang berperilaku sesuai dengan garis hukum, sedangkan kelompok sufi berperilaku di atas prinsip hakikat. orang2 pada umumnya hanya menuntut dhohirnya sariat, sedangkan para sufi menuntut diri mereka pada hakikat wara'dan menetapi ketulusan.barangsiapa yang memasuki dunia mereka dan mengingkari apa yang mereka hakikatkan,maka Allah akan mencabut cahaya iman dari hatinya.

4.saya pernah melewati bagdad pada siang hari yang panas.ketika itu saya berjalan dalam keadaan sangat haus.saya mencoba meminta air minum pada salah seorang penghuni rumah.kemudian muncullah seorang anak perempuan kecil membuka pintu rumah dengan membawa sebuah tempat air minum.ketika melihatku,ia berkata,''seorang sufi minum air di siang hari'' maka sejak itu saya tidak perna membatalkan puasaku.

5.jika Allah memberimu kemampuan untuk memberi nasihat dan mengamalkannya, lalu saya mengambilnya,hal itu adalah nikmat. jika saya melaksanakannya, sedang engkau sendiri tidak mengamalkannya, hal itu adalah musibah bagimu. jika kamu tidak punya nasihat juga tidak berbuat benar, maka hal itu adalah siksaan
 
                          Nara Sumber : Facebook Mumu Bsa 

Selasa, 24 Juli 2012

Kesesatan Konsep Hermeneutika (Bagian 1 dari 4 bagian) (AL MUJAHIDAH)



Kesesatan Konsep Hermeneutika (Bagian 1 dari 4 bagian)

KESESATAN KONSEP HERMENEUTIKA
Penodaan Metode Tafsir Salafusholeh oleh Kaum Liberal
Penyusun: Abu Mujahidah al-Ghifari, Lc.



BAB I: MUQODIMAH
Di antara bukti kasih rahmat Alloh ta'ala terhadap manusia, Dia tidak saja menganugerahkan fitrah yang suci yang dapat membimbingnya kepada kebaikan, bahkan dari  zaman ke zaman mengutus seorang Rosul yang membawa kitab sebagai pedoman hidup dari Alloh ta'ala, menyeru dan mengajak agar beribadah hanya kepada Alloh ta'ala. Menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan. Dan al-Qur’an adalah kitabulloh yang Alloh turunkan kepada Muhammad melalui perantara malaikat jibril alaihisalam sebagai petunjuk bagi manusia dalam menjalani amanah hidupnya.

Memahami al-Qur’an dengan baik dan benar merupakan kunci keselamatan seorang hamba dalam memahami dan mengamalkan Islam. Al-Qur’an tidak bisa dipahami dengan hanya mengandalkan akal manusia belaka karena al-Qur’an kitab wahyu. Metode yang telah diajarkan oleh generasi terbaik ummat ini dalam menafsirkan al-Qur’an adalah dengan metode Tafsir bil Matsur. Metode Tafsir bil Matsur merupakan konsep ilmu tafsir yang banyak ditempuh oleh orang-orang yang dimuliakan Alloh azza wajalla. Metode ini sebaik-baik konsep ilmu tafsir, yaitu: menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah, menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan shohabat Rosul, dan menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan tabi’in menurut mayoritas pendapat ulama. Adapun menafsirkan al-Qur’an berdasarkan akal (pendapat) belaka tanpa didasari ilmu yang benar maka ini hukumnya haram berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Jarir rohimahulloh dari jalur Ibnu Abbas rodhiallohu anhu bahwa Rosululloh sholallohu alaihi wasalam bersabda:“ Barangsiapa yang mengatakan tentang al-Qur’an dengan pendapatnya atau dengan yang tidak ia ketahui maka tempat baginya adalah Neraka.” (HR. Tirmidzi, an-Nas’i dan Abu Dawud), sedangkan menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat yang berdasarkan Ilmu dan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tafsir maka ini diperbolehkan, konsep ilmu tafsir ini dikenal dengan istilah Tafsir bil Ro’yi al-Mahmud.
Kaum liberal yang senantiasa mengusung gagasan Orientalis tidak henti-hentinya melakukan tindakan yang menghancurkan keimanan dan merusak generasi Islam. Diantara gagasan mereka adalah mengusung Hermeneutika untuk menafsirkan al-Qur’an, padahal metode ini digunakan untuk teks-teks karya manusia. Metode ini bukanlah ilmu tafsir yang benar dan bahkan jauh dari kebenaran. Penggunaan metode Hermeneutika untuk al-Qur’an jelas-jelas menyelisihi jejak orang-orang mulia dalam memahami dan mengamalkan Islam. Metode Hermeneutika telah mengacaukan dan merusak pemahaman Islam yang benar. Namun sangat di sayangkan Hermeneutika kini telah menjadi begitu populer di Indonesia dan diajukan oleh berbagai pihak sebagai alternatif pengganti metode tafsir. Oleh karena itu makalah ini mencoba menjawab syubhat kaum Liberal yang mengusung Hermeneutika dalam menafsirkan al-Qur’an dan menguraikan tentang kerancuan Hermeneutika sebagai metode ilmu tafsir al-Qur’an.

BAB II: AL-QUR’AN KALAMULLOH YANG SUCI
Dalam aqidah Islam al-Qur’an adalah kitabulloh yang suci. Makna dan huruf al-Qur’an bersumber dari Alloh azza wa jalla. Dia Alloh ta’ala menurunkan al-Qur’an kepada Rosululloh sholallohu alaihi wasalam melalui perantara malaikat Jibril alaihisalam dan menjadikannya sebagai mu’jizat Rosululloh sholallohu alaihi wasalam.[1]. Mengimani al-Qur’an dengan segala isi kandungannya merupakan kewajiban dan bukti keimanan. Adapun mengingkari al-Qur’an walaupun hanya satu ayat berarti telah menggugurkan keimanan.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang mutlak benar dalam memahami kesempurnaan Islam. Alloh menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya dalam menjalani amanah hidup di dunia ini. Kitabulloh al-Qur’an ini merupakan nasakh (penghapus) kitab-kitab sebelumnya yang Alloh turunkan.
al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam memahami Islam sudah absolut dan tidak bisa disangkal lagi. Adapun dalil-dalil yang menguatkan pernyatan ini sebagai berikut:

1.             al-Qur’an adalah petunjuk.
Alloh ta’ala berfirman:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Artinya: “Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqoroh 1-3)
Alloh ta’ala berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89)
Umar rodhiallohu anhu berkata: Dan inilah kitab (al-Qur’an) yang mana Alloh ta’ala telah memberi petunjuk Rosul kalian maka ambilah niscaya kalian akan diberi petunjuk karena sesungguhnya hanya dengannya Alloh memberi petunjuk Rosul-Nya. (HR. al-Bukhori No. 7269 dari Anas bin Malik rodhiallohu anhu)

2.             Alloh ta’ala telah memerintahkan hamba-Nya untuk mengikuti al-Qur’an dan berpegang teguh terhadapnya.
Alloh ta’ala berfirman:
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: “Dan Al Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’am: 155).
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Alu imron: 103) Telah dikeluarkan oleh Saied bin Mansur, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu jarir, ibnu al-mundzir dan as-Syuyuti mengatakan bahwa sanadnya shohih dari Ibnu mas’ud rodhiallohu anhu tentang firman Alloh “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah” ia berkata, “Tali agama Alloh adalah al-Qur’an.”
Dari Abu Hurairoh dan dari Zaid bin Kholid berkata. “kami pernah bersama Nabi sholallohu alaihi wassalam dan beliau bersabda, “Saya benar-benar akan memutuskan perkara kalian berdua dengan kitabulloh.” (HR. al-Bukhori No.7278).
Imam as-Syafii rohimahulloh berkata, “Bagaimanapun keadaannya maka tidaklah ada sebuah perkataan melainkan harus dengan kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya sholallohu alaihi wassalam dan adapun selain keduanya hanyalah pengikut terhadapnya.[2]

3.    Al-Qur’an adalah hujjah bagi makhluk Alloh dan Dia telah berjanji menjaga kemurnian al-Qur’an.
Alloh ta’ala berfirman:
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Artinya: “Maha Suci Alloh yang telah menurunkan al-furqon agar menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al-Furqon: 1)
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS. An-nahl: 44)
Imam as-Syafii rohimahulloh berkata, ”Andai kata Alloh tidak menurunkan hujah-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya kecuali surat ini (al-‘Asr) niscaya sudah cukup bagi mereka.” Maka perkataan ini menunjukkan bahwa al-Qur’an memang hujah. Beliau juga mengatakan dalam kitabnya ar-Risalah, “Karena Alloh jalla sa’nuhu sudah menurunkan hujjah terhadap makhluk-Nya dari dua sumber asas, yaitu: Kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya.” [3]
Imam Ibnu al-Qoyim rohimahuloh berkata, “Sesungguhnya Alloh subhanahu wa ta’ala sudah menegakkan hujjah terhadap makhluk-Nya denagn kitab dan sunnah Rsoul-Nya.” [4]

4.             Adanya ancaman bagi orang yang berpaling dari apa yang Alloh turunkan dalam al-Qur’an dan adanya kesuksesan bagi orang yang berpegang teguh terhadap-Nya.

Alloh ta’ala berfirman:
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى . وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Artinya: “Barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS. Thoha 123-124) Dan telah dikeluarkan oleh Ibnu abi syaibah, at-Thobroni, Abu nu’aim dalam alhilyah dan Ibnu mardawaih dari Ibnu Abbas rodhiallohu anhu ia berkata, Rosululloh sholallohu alaihi wassalam telah bersabda, “Barang siapa yang mengikuti kitabulloh niscaya Alloh memberinya hidayah dari kesesatan di dunia dan menjaganya dari buruknya siksaan pada hari kiamat.” Dan juga beliau Ibnu Abbas rodhiallohu anhu berkata, “Sesungguhnya Alloh telah menjamin bagi orang yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan apa-apa yang terkandung di dalamnya tidak akan sesat di dunia dan tidak hidup sempit di akherat.” [5]
Dalam shohih Muslim dari hadits jabir bahwa Nabi sholallohu alaihi wassalam bersabda dalam khutbah haji perpisahan : “Dan sungguh telah saya tinggalkan kalian dengan sesuatu yang mana jika kalian berpegang teguh terhadapnya niscaya tidak akan tersesat setelahnya yaitu kitabulloh ta’ala.”
Beberapa dalil diatas merupkan bukti bahwa al-Qur’an adalah kalamulloh yang Dia turunkan untuk dijadikan pedoman bagi kehidupan ummat manusia. Ketika al-Qur’an ditinggalkan dan tidak dijadikan sebagai sumber maka sudah dipastikan pelakunya akan tersesat di dunia dan akherat. Sumber hukum lain selain al-Qur’an adalah as-Sunnah dan Ijma. Tiga sumber hukum ini merupakan sumebr yang sudah disepakati semua madzhab. Tiga sumber ini tidak bisa dipisahkan dan justru saling mendukung. Sunnah Rosul sebagai penjelas maksud yang ada di dalam kitabulloh. Adapun Ijma adalah kesepakatan mujtahid ummat ini terhadap hukum setelah wafatnya Rosululloh berlandaskan pemahaman mereka terhadap seluruh isi kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah.

BAB III: KONSEP TAFSIR QUR’AN UMMAT TERBAIK
Al-Qur’an adalah salah satu mukjizat yang Alloh berikan kepada Rosululloh sholallohu alaihi wasalam. Kemukjizatan al-Qur’an bisa juga dilihat dari susunan katanya. Orang-orang arab pada saat turunnya al-Qur’an benar-benar sadar bahwa al-Qur’an bukan berasal dari manusia. Mereka tidak tidak mampu menyusun kata-kata semisal al-Quran padahal meraka adalah ahli sastra arab dan pada saat itu puncak keemasan sastra arab. Namun mereka benar-benar tidak mampu mendatangkan semisal al-Qur’an walaupun hanya satu ayat. Oleh karena itu Alloh ta’ala menentang mereka dalam hal ini sebagaimana firman-Nya:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu meragukan (al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Alloh jika kamu orang yang benar.” (QS. Al-Baqoroh: 23).
Di dalam ayat yang lain Alloh ta’ala berfirman:
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآَنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (QS. Al-Isro: 88)
Syaikhuna –hafidzohulloh- Prof. Dr. Ali bin Muhammad Maqbul al-Ahdal mengatakan, “Dan diantara bukti bahwa al-Qur’an kalamulloh adalah kemukjizatan lafadz al-Qur’an, dari dahulu hingga sekarang berbagai usaha dan percobaan untuk menandingi al-Qur’an pasti gagal.”[6]
Untuk memahami al-Qur’an dengan baik dan benar dibutuhkan ilmu tafsir yang benar pula. Tafsir adalah ilmu syari’at yang paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia dari segi obyek pembahasan dan tujuannya. Obyek pembahasannya adalah kalamulloh yang merupakan sumber segala hikmah dan samudra luas segala keutamaan. Tujuan utamanya agar umat dapat berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan hakiki. Dan kebutuhan umat terhadap ilmu ini pun sangat mendesak karena segala kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah seiring dengan syariat Islam, hal ini tidak akan dapat diraih kecuali bersumber pada pengetahuan tentang kitab Alloh ta'ala. Oleh karena itu antara satu ayat dengan ayat lain saling terkait dan saling memperjelas karena sama-sama wahyu Alloh, begitu pula dengan sunnah Rosululloh sholallohu alaihi wasalam sebagai wahyu dari Alloh ta’ala secara makna.
Shohabat Rosul adalah tauladan ummat Islam dalam memahami dan mengamalkan Islam. Mereka telah mendapatkan legalitas keridhoan dari Alloh ta’ala, ini menunjukan bahwa apa yang dipahami dan diyakini oleh mereka telah diridhoi oleh Alloh ta’ala. Generasi sahabat adalah generasi umat terbaik sepanjang zaman, kepada mereka Rosululloh sholallohu alaihi wasalam bersabda, dan atas latar belakang keadaan mereka ayat-ayat Al Qur’an diturunkan. Mereka adalah manusia yang paling memahami apa yang dimaksud oleh Alloh dan Rosul-Nya. Mereka adalah generasi terbaik, sehingga Rosululloh sholallohu alaihi wasalam bersabda:
(( خَيْرُ أُمَّتِى قَرْنِى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ))
“Sebaik baik umatku adalah generasiku (para sahabat) kemudian orang-rang yang datang setelah mereka (tabi’in) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari uraian di atas dapat dipahami metode tafsir yang lebih baik dan benar adalah metode yang diterapkan oleh para shohabat, dan mereka menggunakan Tafsir bil Matsur, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat. Berkaitan dengan hal ini Imam Ibnu Katsir rohimahulloh menjelaskan di wal kitab tafsirnya, “Sesungguhnya cara yang paling benar dalam menafsirkan (al-Qur’an itu) adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, maka jika ada ayat yang di-ijmalkan bisa jadi dirinci di tempat lain. Jika hal itu tidak ditemukan olehmu maka hendaklah kau gunakan dengan as-Sunnah karena ia merupakan penjelas al-Qur’an serta penerang bagi al-Qur’an… Dan jika kita tidak menemukan tafsir (ayat tersebut) baik dalam Qur’an dan tidak pula dalam as-Sunnah maka kita kembali kepada perkataan para shohabat, karena mereka lebih mengetahui tentang hal itu, hal ini disebabkan mereka mereka menyaksikan langsung kondisi yang berkaitan dengannya dan juga mereka mempunyai pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar dan amal sholeh, terlebih-lebih ulama-ulamanya dan seniornya.”[7]
Konsep ilmu tafsir bil matsur ini merupakan konsep terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an. Sehingga barangsiapa yang menempuhnya berarti dia telah menempuh jalur terbaik yang sudah pernah ditempuh oleh orang-orang terbaik. Dan tentu konsep ini berasaskan dalil-dalil yang sangat banyak dan terang benderang, diantaranya:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (QS. An-Nisa: 105).
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. An-Nahl: 64).
Ibnu Mas’ud rodhiallohu anhu berkata, “Seseorang diantara kami jika mempelajari sepuluh ayat maka mereka tidak melawatinya hingga mereka mengetahui maknanya serta mengamalkannya.” Dan Abu abdirahman as-Sulami rohimahulloh berkata: Orang-orang yang yang membacakan al-Qur’an kepada kami mengkabarkan bahwa mereka meminta bacaan qur’an dari Nabi sholallohu alaihi wasalam, aka jika mereka mempelajari sepuluh ayat niscaya mereka tidak meninggalkannya hingga mereka mengamalkan ayat tersebut, maka kami mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an semuanya. [8]
Konsep tafsir lain yang diperbolehkan adalah tafsir yang dilandasi dengan ilmu yang benar sesuai dengan kaidah-kaidah Islam dan memenuhi syarat dalam ilmu tafsir. Imam Ibnu katsir menjelaskan, “Adapun barangsiapa berbicara (menafsirkan Qur’an) dengan yang ia ketahui berdasarkan tatanan bahasa dan syar’i maka ini tidaklah mengapa, oleh karena itulah banyak riwayat dari mereka dan selain mereka perkataan-perkataan tentang tafsir, dan ini tidaklah kontradiksi karena mereka berbicara berdasarkan apa yang mereka ketahui.” [9]
Sedangkan menafsirkan al-Qur’an berdasarkan hawa nafsu, pendapat pribadi belaka, atau bahkan menyelisihi kaidah-kaidah Islam maka sungguh ini jelas merupakan tindakan yang diharamkan. Imam Muhammad bin Jarir rohimahulloh dari jalur Ibnu Abbas rodhiallohu anhu bahwa Rosululloh sholallohu alaihi wasalam bersabda:“ Barangsiapa yang mengatakan tentang al-Qur’an dengan pendapatnya atau dengan yang tidak ia ketahui maka tempat baginya adalah Neraka.” (HR. Tirmidzi, an-Nas’i dan Abu Dawud) [10] Dan tindakan yang semisal ini dikategorikan berbicara tentang tanpa dasar Ilmu dan ini termasuk dalam ayat Alloh: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isro: 36)

CATATAN KAKI:_____________________________________
[1] Syaikh Mana’ul Qothon berkata tentang definisi al-Qur’an: “Kalamulloh yang diturunkan kepada Muhammad sholalollohu alaihi wasalam yang membacanya adalah ibadah.” (Mabahits Fi Ulumul Qur’an, Cet.Mu’asasah ar-Risalah, Thn.1998, Hlm.20,). Imam Ibnu Hajar al-Asqolani rohimahulloh berkata dalam kitab ar-Rosa’il wal Masa’il 3/123: “Yang lebih selamat dalam masalah itu adalah meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalamulloh bukan makhluk, ini adalah pendapat yang lebih selamat dari berbagai pendapat karena banyaknya kerancuan masalah ini dan larangan (ulama) salaf mendalami masalah tadi.” (Ibnu Qudamah, Raudohtun Nadzir, Tahqiq Dr.Abdulkarim an-Namlah, Riyadh: Maktabah ar-Rusd, Jilid 1, hlm.266)
Demikianlah definisi yang sangat gamblang tentang al-Qur’an dan ini merupakan bantahan bagi orang Liberal yang mengatakan al-Qur’an adalah makhluk. Adapun dalil bahwa al-Qur’an adalah kalamulloh QS. At-taubah:6, QS. Al-Baqoroh:75 dan QS. Al-Fath:15. Dan untuk lebih jelasnya lihat pembahasannya di kitab al-Wasitiyah karya Syaikhul Islam Ibnu taymiah rohimahulloh.

[2] Jima’il ilmi, Tahqiq Ahmad syakir, Maktabah ibnu taymiah, Hlm.11

[3] ar-Risalah, Tahqiq ahmad syakir, Beirut: Maktabah al-ilmiah, hlm.221

[4] as-Sowa’iq almursalah 2/734 tahqiq Ali adakhilulloh cetakan pertama Daar al-Asimah

[5] Dikeluarkan oleh ak-hakim dalam al-mustadrok 2/381 dan dishohihkan serta disepakati oleh imam Ad-Dzahabi

[6] Adwa ala ats-Tsaqofah al-Islamiayah, Shon'a Yaman: Daar al-Quds, Cetakan kedua, Shon’a, 1427 H / 2006, Hlm.112

[7] Ahmad syakir, Umdah at-Tafsir anil hafidz ibnu Katsfir, Beirut: Daar al-wafa, 2005, Jilid 1, Hlm.42-43.

[9] Riwayat ini dan semisalnya tercatat dalam banyak kitab diantaranya, tafsir Umdah at-tafsir, ringkasan imam Ibnu katsir 1/hal.43 Cet.darul wafa. Dan juga terdapat dalam Ulumul Qur’an karya Syaikh Mana’ul Qothon Hal.9-1 dan juga kitab-kitab yang lain. Adapun mengenai landasan bahwa pemahaman tafsir shohabah adalah hujjah karena mereka dididik langsung oleh Rosulloh sholallohu alaihi wasalam, mereka mengetahui sebab dan kondisi ayat itu turun, mereka juga ahli bahasa arab dan al-Qur’an di turunkan dengan bahasa arab, dan lebih dari itu semua karena mereka telah mendapatkan sertifikat keridhoan dari Dzat yang maha mengetahui lahir dan batin, di antaranya firman Alloh ta’ala:
Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. Al-Fath: 18)
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. (QS. Al-fath: 29)
Adapun tafsir al-Qur’an dengan perkataan Tabi’in masih diperselisihkan diantara ulama, ada yang mengatakan sebagai hujjah dan ada juga yang mengatakan sebaliknya. Akan tetapi jika mereka tidak berbeda pendapat maka ini tidak diragukan lagi bahwa tafsirnya itu diterima sebagai hujjah. Dan jika berbeda pendapat maka perkataan diantara mereka bukanlah hujjah bagi yang lainnya, maka hal ini harus dikembalikan ke tatanan bahasa al-Qur’an atau as-sunnah atau kaidah-kaidah bahasa arab yang baku.

[9] al-Umdah Hal.46

[10] Dalam hadits lain Imam Ibnu Jarir meriwayatkan dari jalur Jundub bahwa Rosululloh sholallohu alaihi wasalam bersabda: “Barangsiapa yang mengatakan tentang al-Qur’an dengan pendapatnya maka dia telah keliru.”

Senin, 23 Juli 2012

THORIQOH QODIRIYAH NAQSYABANDIYAH

Maafkan Kami jika terdapat kekeliruan saran dan masukan semoga bermanfaat...amiin

Kontributor :  Suratman, AMK., SKM
kegiatan : Sekretaris  MWC NU Kecamatan Lubuklinggau Utara II, Ketua Majelis Dzikir Thoriqoh Qodiriyah Wanaqsabandiyah Kecamatan Lubuklinggau Utara II Kota Lubuklinggau, Wakil Sekretaris Majelis Istighotsah Syahadat Kota Lubuklinggau dan kabupaten Musi Rawas ..Robbighfirli...waliwalidayya..amiin


Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah - Bogor Baru.

Pengajian ini terbuka untuk umum dan diadakan setiap hari Jum'at malam dimulai jam 20.00 s/d 23.00 WIB dan setiap Sabtu dimulai jam 16.00 s/d 18.00 WIB di Rubat kediaman Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin bin Aminudin, didepan Mesjid Nuur al Barru. Bogor Baru Blok B.IX/3 - Bogor, Jawa Barat - Indonesia.

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin lahir pada malam Nuzulul Qur’an di bulan Ramadhan, (29 Mei 1953). Ayahnya, H Aminudin, berdarah Banten, tepatnya di daerah Labuan dan Ibunya berdarah Limbangan, Garut. Sejak kecil beliau sering diajak berziarah kepada para ulama di Banten yang masih ada hubungan keluarga, yaitu Syaikh Tubagus Ali Akbar, Syaikh Uways al Kurni Mandala cucu dari Syaikh Sohib Kadupinang, Syaikh Tubagus Mursyid, Syaikh Tubagus Rasyad, Syaikh Tubagus Kadzim ketiga ulama agung ini putera dari Syaikh Asnawi Caringin, lalu Syaikh Sohib Paniis, Syaikh Tubagus Husain bin Abdullah adik dari Syaikh Muhammad bin Abdullah Cibuah Pandeglang, Syaikh Tubagus Mukri dan Syaikh Hasan Armin (Ki Armen). Oleh karenanya, ilmu kesufian telah akrab di hatinya sejak usia dini. Sejak di usia 11 tahun, beliau dibimbing secara langsung oleh Syaikh Nuurunnaum Suryadipraja pemimpin Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Pabuaran Bogor selama 40 tahun sampai beliau khirkoh dari tarekat ini. Lalu beliau juga khirkoh dari Syaikh Jalaludin pemimpin tarekat Naqsyabandiyah di Medan. Dan berturut-turut khirkoh dari beberapa tarekat lain yang mutabaroh, antara lain tarekat Sadziliyah, tarekat Tijaniyah, tarekat Khalwatiyah, tarekat Chistiyah, tarekat Sanusiyah.

Reaksi: 

 

THORIQOH QODIRIYAH NAQSYABANDIYAH (1) 

 Syeikh Abdul Karim Tanaaro Al Bantani

Mama sanja - kadu kaweng K.H. Uni Saketi 

 

Pelaksanaan Dzikir ....
Keluargaku Surgaku...


Pengajian Akbar bersama Wakil Walikota Lubuklinggau dan Ketua Majelis Cabang NU Kota Lubuklinggau Ustadz Drs. Azhari Maid






 PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD, SAW..


 MARHABANAN...
 ISTIGHOTSAH SYAHADAT...DI PONPES ROHMATULLOH...JAJARAN BARU MUSI RAWAS
SETELAH DZIKIR & PERSIAPAN GOTONG ROYONG MEMBANGUN RUBBAT MAKAN DULU BIAR KUAT PAK KIYAI..
 ISTIGHOTSAH SYAHADAT DI PONPES ROHMATULLOH MEGANG SAKTI MUSI RAWAS

PENGAJIAN DENGAN MAHASISWA...

 

DZIKIR & DOA BERSAMA MELEPAS BERANGKAT UMROH MBAH KYAI AMIR SAMSIRI 19 JULI 2012

 

Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Sufi Syekh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syekh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M). Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah.


Syekh Ahmad Khatib adalah mursyid Thariqah Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Thariqah Naqsabandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Thariqah Qadiriyah saja. Sampai sekarang belum diketemukan secara pasti dari sanad mana beliau menerima bai'at Thariqah Naqsabandiyah.

Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil Syekh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Thariqah Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.

Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud. Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat.

Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan penggabungan dari dua tarekat tersebut. Tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi berdasarkan ajaran lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah). 

Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).

Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syekh Ahmad Khathib al-Sambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Beliau tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya.

Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.
Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu : tentang kesempurnaan suluk, adab (etika), dzikir, dan murakabah.[]


MENGENAL THORIQOH MU'TABARAH
Dalam tasawwuf seringkali dikenal istilah Thoriqoh, yang berarti jalan, yakni jalan untuk mencapai Ridlo Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan, Aturuk biadadi anfasil mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya
mahluk, aneka ragam dan bermacam macam.  

Kendati demikian orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati, karena dinyatakan pula, Faminha Mardudah waminha maqbulah, yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada
yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima.
 
Yang dalam istilah ahli Thoriqoh lazim dikenal dengan ungkapan, Mu'tabaroh. Wa ghoiru Mu'tabaroh.
KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi, semua Thoriqoh yang Mu'tabaroh itu, sanad(silsilah)-nya muttashil  (bersambung) sampai kepada Nabi. 

Kalau suatu Thoriqoh sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut Thoriqoh tidak (ghoiru) Mu'tabaroh. Barometer lain untuk menentukan ke-mu'tabaroh-an suatu Thoriqoh adalah pelaksanaan syari'at. Dalam semua Thoriqoh Mu'tabaroh syariat  dilaksanakan secara benar dan ketat.
Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah :

Thoriqoh Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M).

Thoriqoh Syathariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh 'Abd al-Rauf al-Sinkili ke Nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau. 

Thoriqoh Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din, berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa' al-Qulub. Thoriqoh ini berkembang di Minangkabau dan sekitarnya. Untuk mendukung ke1embagaan Thoriqoh, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jama'ah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi-tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan Thoriqoh Syathariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan ziarah bersama ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.
 
Thoriqoh Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Thoriqoh Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Limapuluh kota. Thoriqoh Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India. 

Naqsyabandiyah merupakan salah satu Thoriqoh sufi yang paling  luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai  menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu
seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan Thoriqoh tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah,
dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Thoriqoh Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati (Sirri). 

Penyebaran Thoriqoh Naqsyabandiyah Khalidiyah ditunjang oleh ulama ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah, mereka mendapat bai'ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), dan Syekh Muhammad Sai'd Bonjol. 

Mereka adalah ulama besar dan berpengaruh pada zamannya serta mempunyai anak murid mencapai ratusan ribu, yang kemudian turut menyebarkan Thoriqoh ini ke daerah asal masing masing Di Jawa Tengah Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyyah disebarkan oleh KH. Abdul Hadi Girikusumo Mranggen yang kemudian menyebar ke Popongan Klaten, KH. Arwani Amin Kudus, KH. Abdullah Salam Kajen Margoyoso Pati, KH. Hafidh Rembang. Dari dari tangan mereka yang penuh berkah, pengikut Thoriqoh ini berkembang menjadi ratusan ribu. Ajaran dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu:
syari'at, thariqat, hakikat dan ma'rifat. Ajaran Thoriqoh
Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan  yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak ke permukaan dan memiliki tata aturan adalah khalwat atau suluk.

Khalwat ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir dibawah bimbingan seorang  Syekh atau khalifahnya, selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara khalwat ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya epenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah..

Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad ibn 'Aly (al-Husainy al-Badawy).

Diantara nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada beliau ialah Syihabuddin, al-Aqthab, Abu al-Fityah, Syaikh al-'Arab dan al-Quthab an-Nabawy. Malah, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama gelar (laqab) yang banyak, sampai dua puluh sembilan nama. Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir, Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang lelaki keturunan Rasulullah SallAllahu 'alaihi wa sallam, melalui Sayidina al-Husain. Sholawat Badawiyah sughro dan Kubro, adalah sholawat yang amat dikenal masarakat Indonesia, dinisbatkan kepada waliyullah Sayid Ahmad Badawi ini, akan tetapi Tarekat badawiyah sendiri tidak berkembang secara luas di indonesia khususnya di Jawa Abul Hasan Ali asy-Sadzili, merupakan tokoh Thoriqoh Sadziliyah yang tidak meninggalkan karya tulis di bidang tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ketika ditanya akan hal itu, ia menegaskan :"karyaku adalah murid muridku", Asadzili mempunyai murid yang amat banyak dan kebanyakan mereka adalah ulama ulama masyhur pada zamannya, dan bahkan
dikenal dan dibaca karya tulisnya hingga hari ini. Ibn Atha'illah as -Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaranajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah Thoriqoh Sadziliyah tetap terpelihara. 


Ibn Atha'illah juga  orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan Thoriqoh Sadziliah, pokok-pokoknya, prinsipprinsipnya, yang menjadi rujukan bagi angkatan-angkatan setelahnya. Sebagai ajaran, Thoriqoh ini dipengaruhi oleh al- Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Sadzili kepada murid-muridnya: "Jika kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali". 

Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al- Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, al-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqifwa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah. Thoriqoh Sadzaliah berkembang pesat di Jawa, tercatat Ponpes Mangkuyudan Solo, Kyai Umar , Simbah Kyai Dalhar Watucongol, Simbah Kyai Abdul malik Kedongparo Purwokerto, KH Muhaiminan Parakan, KH. Abdul Jalil Tulung Agung. KH . Habib Lutfi Bin Yahya, Pekalongan .Simbah KH.M.Idris, kacangan Boyolali, adalah pemuka pemuka Sadzaliah yang telah membaiat dan membina ratusan ribu bahkan jutaan murid Sadziliah. 

Thoriqoh Qodiriyah dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. 

Riwayat hidup dan keutamaan akhlak (Manaqib) Syech Abdul Qodir Jaelani ini, dikenal luas oleh masarakat Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan dibaca dalam acara-acara tertentu guna tabarruk dan tawassul kepada Syekh Abdul Qodir. Thoriqoh Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, Thoriqoh ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Syekh Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, Thoriqoh Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Thoriqoh Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti Thoriqoh gurunya. 
Bahkan dia berhak melakukan modifikasi  Thoriqoh yang lain ke dalam Thoriqohnya. Hal itu seperti tampak
pada ungkapan Syekh Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri  sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya." Seperti halnya Thoriqoh di Timur Tengah. 

Sejarah Thoriqoh Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al- Mukarromah. Thoriqoh Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syekh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syekh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran Thoriqoh Qodiriyah. Murid-murid Syekh Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura, setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Thoriqoh Qodiriyah tersebut. 

Di Jawa Tengah Thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah muncul dan berkembang antara lain dari Mbah Ibrahim Brumbung Mranggen diturunkan kepada antara lain KH. Muslih pendiri Ponpes Futuhiyyah ,Mranggen. Dari Kyai Muslih ini lahir murid-murid Thoriqoh yang banyak. Dan dari tangan mereka berkembang menjadi ratusan ribu pengikut. Demikian pula halnya Simbah Kyai Siradj Solo yang mengembangkan Thoriqoh ini ke berbagai tempat melalui anak muridnya yang tersebar ke pelosok Jawa Tengah hingga mencapai puluhan ribu pengikut. Sementara di Jawa Timur, Thoriqoh ini dikembangkan oleh KH. Musta'in Romli Rejoso Jombang dan Simbah Kyai Utsman yang kemudian dilanjutnya putra-putranya diantaranya KH. Asrori yang juga mempunyai murid ratusan ribu. 

Di Jawa Barat tepatnya di Ponpes Suryalaya Tasikmalaya juga turut andil membesarkan Thoriqoh ini sejak mulai zaman Abah Sepuh hingga Abah Anom dan muridmuridnya yang tersebar di berbagai penjuru Jawa Barat. 

Thoriqoh Alawiyyah berbeda dengan Thoriqoh sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) yang berat, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat
dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad.serta beberapa ratib lainnya seperti Ratib Al Attas dan Alaydrus juga dapat dikatakan, bahwa Thoriqoh ini merupakan jalan tengah antara Thoriqoh Syadziliyah (yang menekankan olah hati) dan batiniah) dan Thoriqoh Al- Ghazaliyah (yang menekankan olah fisik). 

Thoriqoh ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Thoriqoh ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-
Muhajir-lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al- Muhajir-seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat. Al Imam Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali Baalwi, juga merupakan tokoh kunci Thoriqoh ini. Dalam perkembangannya kemudian, Thoriqoh Alawiyyah dikenal juga dengan Thoriqoh Haddadiyah,
yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah al-Haddad, Attasiyah yang dinisbatkan kepada Habib Umar bin Abdulrahman Al Attas, serta Idrusiyah yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah bin Abi Bakar Alaydrus, selaku generasi penerusnya.

 Sementara nama "Alawiyyah" berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al -Muhajir. Thoriqoh Alawiyyah, secara umum, adalah Thoriqoh yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid - keturunan Nabi Muhammad SAW-yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. 

Karena itu, pada masa-masa awal Thoriqoh ini didirikan, pengikut Thoriqoh Alawiyyah kebanyakan dari 
kaum sayyid di Hadhramaut, atau Ba Alawi.Thoriqoh ini dikenal pula sebagai Toriqotul abak wal ajdad, karena mata rantai silisilahnya turun temurun dari kakek,ayah, ke anak anak mereka, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami. 

Di Purworejo dan sekitarnya Thoriqoh ini berkembang pesat, diikuti bukan hanya oleh para saadah melainkan juga masarakat non saadah , Sayid Dahlan Baabud, tercatat sebagai pengembang Thoriqoh ini, yang sekarang dilanjutkan oleh anak cucunya Umumnya, nama sebuah Thoriqoh diambil dari nama sang pendiri Thoriqoh bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. 

Tapi Thoriqoh Khalwatiyah justru diambil dari kata "khalwat", yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Thoriqoh Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempattempat sepi. Secara "nasabiyah", Thoriqoh Khalwatiyah merupakan cabang dari Thoriqoh Az-Zahidiyah, cabang dari Al- Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Thoriqoh Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. 

Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia mengambil Thoriqoh tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan Thoriqoh ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. 

Diantara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).
Thoriqoh Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan. 

At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di 'Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun. 
Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh Thoriqoh-Thoriqoh lain. Gugatan keras dari kalangan ulama Thoriqoh itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Thoriqoh Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan diperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Thoriqoh Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru Thoriqoh lain, Meski demikian, Thoriqoh ini terus berkembang, utamanya di Buntet- Cirebon dan seputar Garut (Jawa Barat), dan Jati barang brebes, Sjekh Ali Basalamah, dan kemudian dilanjutkan putranya, Sjekh Muhammad Basalamah, adalah muqaddam Tijaniah di Jatibarang yang pengajian rutinnya, dihadiri oleh puluhan ribu ummat Islam pengikut Tijaniah. Demikian pula Madura dan ujung Timur pulau Jawa, tercatat juga, sebagai pusat peredarannya. Penentangan terhadap Thoriqoh ini, mereda setelah, Jam'iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan keputusan, Thoriqoh ini bukanlah Thoriqoh sesat, karena amalan-amalannya sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Keputusan itu diambil setelah para ulama ahli Thoriqoh memeriksa wirid dan wadzifah Thoriqoh ini. 

Thoriqah Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Samman yang bernama asli Muhammad bin Abd al-Karim al-Samman al- Madani al-Qadiri al-Quraisyi dan lebih dikenal dengan panggilan Samman. Beliau lahir di Madinah 1132 H/1718 M dan berasal dari keluarga suku Quraisy. Semula ia belajar Thoriqoh Khalwatiyyah di Damaskus, lama kelamaan ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik dzikir, wirid dan ajaran teosofi lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan Allah yang akhirnya disebut sebagai Thoriqoh Sammaniyah. Sehingga ada yang mengatakan bahwa Thoriqoh Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah. 

Di Indonesia, Thoriqoh ini berkembang di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Sammaniyah masuk ke Indonesia pada penghujung abad 18 yang banyak mendapatkan pengikut karena popularitas Imam Samman. Sehingga manaqib Syekh Samman juga sering dibaca berikut dzikir Ratib Samman yang dibaca dengan gerakan tertentu. Di Palembang misalnya ada tiga ulama Thoriqoh yang pernah berguru langsung pada Syekh Samman, ia adalah Syekh Abd Shamad, Syekh Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin dan Syekh Kemas Muhammad bin Ahmad. Di Aceh juga terkenal apa yang disebut Ratib Samman yang selalu dibaca sebagai dzikir 
(team Al Mihrab )